Wednesday, March 11, 2009

Suatu Sore

Senin sore, saya,Mama dan Papa ke PTC, niat awalnya cuma mau ke penjahit langganan aja, tapi setelah sampai disana jadi berkembang kemana2. Sampai akhirnya saya inget buat beli buku Undang-undang yang diperluin buat PLKH saya, maka melangkahlah kaki-kaki kami ke Toko buku yang ada di lantai paling atas.

Saya menghabiskan beberapa menit buat mengelilingi toko itu, mencari2 apalagi yang saya butuhkan selain undang-undang itu. Setelah agak lama, akhirnya belanjaan saya bertambah dengan beberapa item tambahan, dan saya pun langsung berdiri si antrean kasir, tiba-tiba mama mendekat dan berbisik dikuping saya "kasihan yah, orang itu duitnya logam semua" kemudian mama menjauh dari saya dan menghampiri papa, saya yang masih belum ngeh dengan apa yang dibisikkan mama masih bengong2 aja, didepan antrean saya ada 2 orang bapak2 yang mengantre, bapak yang pertama botak dan nyolot karena credit cardnya macet dan ga bisa melakukan transaksi, sampai akhirnya si bapak memutuskan buat ninggalin sementara credit card dan belanjaannya buat sholat maghrib dulu di musholla dan berjanji bakalan kembali lagi, selesai itu mbak-mbak kasirnya lanjut melayani bapak2 selanjutnya yang sebelumnya keliatan kewalahan ngadepin anak2nya,

Tiba-tiba pandangan mata saya nggak sengaja tertuju ke tangan bapak itu, dia menggenggam sekantung plastik bening berisikan lembaran-lembaran uang seribuan, tumpukan uang logam, dan dompet2 plastik yang biasanya digratisin dari toko emas disembunyikan di belakang badannya, mendadak hati saya nggak enak, saya perhatikan bapak itu, kaki-kakinya kering dan kuku-kukunya kotor, ada 3anak kecil yang bersamanya 2orang anak perempuan dan satu laki-laki, ketiganya rambutnya merah dah kering terpanggang matahari, anak perempuan yang keliatannya paling besar merengek2 nanya tipe-ex nya dimana,saya lihat mereka membeli pensil warna dan buku gambar, anak laki2nya merengek2 minta dibelikan buku lain lagi, tapi ditolak bapak nya dan meminta anak2nya jangan terlalu "rakus",hati saya jadi semakin nggak karuan, ditambah ketika si bapak bertanya kepada mbak-mbak kasirnya berapa jumlah belanjaan mereka, si mbak kasir menjawab 44ribu sekian ratus rupiah, si bapak tampak kelabakan merogoh dompetnya, mengeluarkan dua lembar sepuluh ribuan lusuh dan beberapa lembar lima ribuan dan lanjut bertanya berapa kurangnya lalu ditambahkan uang dari plastik genggaman tangannya. Hati saya semakin mencelos.

Saya merasa disentil Tuhan, minggu-minggu lalu betapa banyaknya saya menghabiskan uang buat hal-hal yang sebetulnya bisa lebih ditekan, lupa bersyukur, lupa merasa cukup, lupa mendekat pada mereka yang lemah.

Keluarga kecil itu, yang ternyata Papa kenal sang bapak, Papa bilang temen kuliah Papa dulu, tapi nggak selesai, Papa bilang dulu pernah liat di perempatan jalan dia jualan koran di lampu merah.

Mata saya terus mengikuti keluarga itu keluar dari toko buku, memperhatikan betapa anak2 itu berdandan rapi untuk berbelanja ditoko buku, mungkin memakai baju2 terbaik mereka, memperhatikan langkah2 dan loncatan2 kegirangan mereka.

Betapa nilai 44ribu membuat seorang bapak kelabakan, tapi nilai itu setara dengan kebahagiaan anak2 itu, bahkan mungkin mereka harus menabung dan menunggu berbulan2 untuk memberanikan diri melangkah ke toko buku.
Dan betapa timpangnya ketika dibandingkan seringkalinya uang senilai yang sama untuk saya hanya ditukar dengan hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu penting dan cenderung nggak berguna.

Tuhan, semoga saya terus diingatkan ketika saya melupakan saudara2 yang hidup dalam keadaan pas-pasan dan kekurangan. Amien.



Sincerely me,
-Ivana Safwan-

0 komentar:

Post a Comment